Sesekali interaksi terjadi, antara masyarakat asli dan pendatang. Dalam interaksi tersebut, masyarakat asli acapkali menggunakan istilah “sing” atau “hing” yang berarti “tidak”. Dari sanalah penamaan Wong Using berasal. Sementara masyarakat asli menyebut kaum pendatang dengan istilah “Wong Kiye”. Selain perkataan “tidak” yang mencirikan penolakan interaksi dengan pendatang, masyarakat Using juga menggunakan peristilahan yang “kasar” seperti asu, celeng, luwak, bajul atau bojok. Menurut Hasnan Singodimayan, peristilahan itu selain sebagai bahasa sandi juga mempertegas penolakan masyarakat Using terhadap berbagai bentuk “penjajahan” yang dialami dalam perjalanan sejarah mereka
Penduduk sisa-sisa rakyat Blambangan yang mendiami wilayah Kabupaten Banyuwangi, sebagian Jember, Bondowoso, Situbondo dan Lumajang disebut masyarakat Using. Dulu sebelum dibakukan, banyak menulis dengan kata “Osing” kadang juga “Oseng”, namun setelah diurai secara fonetis oleh pakar Linguisitik dari Universitas Udayana Bali (Prof Heru Santoso), diperoleh kesepakatan resmi dengan menulis kata “Using” yang berarti “Tidak”. Pertanyaannya, kenapa orang asli Blambangan disebut Using? Penyebutan itu, sebetulnya bukan permintaan orang-orang Blambangan. Ini lebih merupakan ungkapan prustasi dari penjajah Belanda saat itu, karena selalu gagal membunjuk orang-orang sisa Kerajaan Blambangan untuk bekerja sama. Kendati pimpinan mereka sudah dikalahkan, tetapi tidak secara otomatis menyerah kepada musuh. Sikap yang sama, juga ditujukkan saat awal-awal Orde Baru berkuasa, orang Banyuwangi paling susah diajak kerja sama, atau menjadi pegawai Negeri. Mereka masih menganggap, pemerintahan yang ada tidak jauh berbeda dengan penjajah Belanda.
Meski akhirnya sikap “Sing” ini berangsur-angsur melunak, dengan banyaknya orang Using yang menjadi pegawai negeri, atau masuk ranah-ranah publik yang sebelumnya tidak pernah dilakukan, namun nama “Using” sudah terlanjur melekat. Bahkan tumbuh kebanggan kolektif, bila disebut sebagai orang Using. Setelah generasi-generasi muda itu, tahu sejarah bagaimana nenek moyangnya berjuang mati-matian, mempertahankan wilayah dan harga diri.
Perang “Puputan” atau juga dikenal perang habis-habisan, akhirnya dijadikan tonggak hari lahirnya Kabupaten Banyuwangi. Pertimbangannya, semangat heroik dari tentara Blambangan ini diharapkan bisa menjadi tauladan. Bahkan seorang penulis asal Belanda menyebutkan, jika rakyat Blambangan hanya tinggal berapa ribu saja. Sebagai bentuk penekanan terhadap warkat Blambangan, kepala laskar Blambangan yang kalah perang, ditancapkan di sepanjang jalan. Meski demikian, sisa rakyat Blambangan tidak langsung menyerah dan tunduk kepada musuh. Mereka memilih mengungsi ke gunung atau membentuk kelompok-kelompok kecil. Mereka berkomunikasi menggunakan bahasa-bahasa sandi, berupa nama-nama bintang. Kelang bahasa sandi ini menjadi umpatan khas wong Using. Selain itu, bahasa Using dikenal mempunyai ratusan dialek. Setiap kampung-kampung Using, bisa diidentifikasi dari cara mereka berbicara dan berpakaian. Misalnya dalam satu pertemuan besar di sebuah lapangan, maka mereka akan mudah mengenali orang Using dari daerah mana, dari cara mereka berbicara.
Selain itu, ternyata kampung-kampung Using tidak ada yang menghadap jalan raya. Umumnya kampung Using itu merupakan jalan kecil dari sebuah jalan raya beraspal, kemudian di kawasan itu berjubel pemukiman. Meski berada di pedesaan, namun kampung-kampung Using terkenal padat. Ini ternyata tidak lepas dari sejarah masa lalu wong Using yang selalu dilanda ketakutan, pasca kekalahan laskar Blambangan pada Perang Puputan Bayu. Mereka selalu berkelompok dan selalu mewaspadai kedatangan orang asing.
Akibat tidak mau bekerja sama dengan Belanda, praktis Wong Using mengkonsentrasikan hidupnya di sektor pertanian. Sementara sentra-sentra perekonomian lain di Banyuwangi, justru banyak ditempati orang di luar Banyuwangi. Sektor perkebunan yang rata-rata saat itu milik Belanda dan Inggris, banyak dikerjakan orang Madura. Saat itu, wong Using sangat menolak keras kerja sama dengan Belanda dan pemilik kebun. Sektor laut, justru banyak dilakukan orang-orang dari Madura, seperti di Muncar. Sektor pemerintahan bisa ditebak, tidak ada orang-orang Using yang mau bekerja di sektor ini. Meski diantara mereka ada yang sekolah hingga perguruan tinggi, namun tidak begitu saja orang-orang Using mengijinkan anaknya menjadi pegawai negeri. Mereka masih beranggapan, pemerintahan itu adalah penjajah, karena melanjutkan pemerintahan yang dibentuk Belanda. Sikap menolak bekerjasama dengan musuh ini, bisa dilihat dari keberadaan Pabrik Gula. Meski Banyuwangi merupakan wilayah pertanian yang subur, namun Belanda saat itu tidak berhasil memaksa warga Banyuwangi untuk menanam tebu sebagai pemasok pabrik gula. Padahal di Jember dan Situbondo, bertengger sejumlah pabrik gula. Nyaris kehidupan feodal hanya tumbuh di perkebunan, seperti di wilayah Glenmore dan Kalibaru.
Dari aspek seni-budaya, orang luar banyak menyatakan. jika budaya dan kesenian Banyuwangi merupakan perpaduan Jawa-Madura dan Bali. Pernyataan ini memang tidak terbantahkan, karena letak geografis Banyuwangi yang berdekatan dengan Bali. Namun ada yang menarik dari catatan Sejarawan asal Belanda TG. Pigeaud dalam bukunya Runtuhkan Kerajaan Mataram Islam. Dalam buku itu disebutkan. jika wilayah Kerajaan Blambangan saat itu, menjadi rebutan antara Kerajaan Mataram di bawah Sultan Agung dengan kerajaan Mengwi di Bali. Dr. Theodoor Gautier Thomas Pigeaud menyatakan, suatusaat pengaruh Bali sangat kuat dalam segala aspek kehidupan rakyat Blambangan, maka saat itu pula pengaruh Mataram melemah. Namun apabila Mataram sudah bisa mengusai kembali sendi-sendi kehidupan di Blambangan, saat itu juga pengarusnya secara sosial kemasyarakat juga akan kuat. Dalam proses inilah, lahir kesenian semacam Janger yang mirip dengan langedrian yang ada di Yogyakarta, dengan cerita diambil dari Serat Damarwulan yang ditulis Pujangga di Kerajaan Mataram. Atau Kesenian Praburoro yang mengabil cerita Hikayat Amir Hamzah (Kata orang Using: Amir Ambyah), kesenian ini juga bisa ditemukan di Sleman DIY. Janger bentuk sampaan seperti Ketoprak, sedang Praburoro seperti Wayang Orang. Namun mocopat yang berkembang di Banyuwangi, bukan berasal dari kalangan Keraton, melainkan mocopat pesisiran. Nama-nama pupuhnya hampir sama, hanya ada penekanan pada pupuh-pupuh tertentu.
Setelah itu, orang-orang Mataraman atau bisa disebut Jowo Kulon mulai masuk Banyuwangi, trerutama daerah selatan. Mereka juga membawa kesenian, seperti wayang, Reog Ponorogo dan kesenian Jawa lainnya. Namun dalam perkembangannya, terjadi asimilasi. Misalnya, secara teknis seniman Banyuwangi itu mempunyai ciri khas dalam memukul alat musik, yaitu tekhnik timpalan. Ini terjadi baik cara memukul gamelan, maupun rebana (terbang).
Namun dalam kehidupan sosial, kadang orang-orang pendatang ini merasa lebih tinggi dibanding orang asli Banyuwangi. Mereka memang mengusai sektor-sektor formal. Misalnya pegawai Negeri di Kabupaten hingga Kecamatan, banyak dijabat orang pendatang. Mereka yang masih selaran dengan perjuangan Mataram ini, kadang memandang orang asli Banyuwangi sebelah mata. Padangan orang terbelakang dan tidak mau diajak maju, kadang sulit dihilangkan. Apalagi pada saat jaman pergolakan poilitik, kesenian dan senimam Banyuwangi yang yang tergabung dan digunakan propaganda oleh PKI. Lengkap sudah penderitaan sisa-sisa Laskar Blambangan ini.
Sebagai pemilik syah atas warisan leluhurnya,ternyata orang-orang Using sangat sulit memperjuangkan Bahasa Using sebagai materi ajar di sejumlah sekolah dasar. Ini tidak heran, karena para pejabat di Pemkab Banyuwangi dan Dinas Pendidikan saat itu, memang dijabat orang Jowo Kulonan. Mereka masih beragapan sebagai penjajah, karena menganggap Bahasa using sebagai sub-dealek dari Bahasa Jawa. Padahal berdasarkan penelitian Profersor Heru Santoso, Using bukan sebagai dialek-Jawa,tetapi sudah merupakan bahasa sendiri. Tentu kaidah-kaidah menetukan suatu bahasa disebut bahasa sendiri, bukan sebagai dialek, sudah dikupas panjang lebar oleh Pakar Linguistik dari Udayana Bali ini.
Bahkan peneliti dari Balai Bahasa Yogyakarta, Wedawaty menyebutkan, jika bahasa Using dan Bahasa Jawa itu kedudukannya sama sebagai turunan dari Bahasa Jawa Kuno ayau Bahasa Kawi. Bahasa Jawa sekarang lebih berkembang, terutama adanya strata atau tingkatan bahasa sesuai kasta dan umur. Namun bahasa Using terlihat lebih statis, karena tidak mengenal tingkatan tutur, seperti Bahasa kawi induknya. Bahkan Budayawan using, Hasan Ali menduga, kota kata Bahasa Bali dalam Balines-Nederland yang disusun seorang misionaris Belanda adalah kota kata Bahasa using, karena penyusunlan puluhan tahun tinggal di Blambangan, sebelum bisa menyebrang ke Bali.
Alahmdullah, setelah puluhan tahun perjuangan, akhirnya Bahasa Using diajarkan di tingkat SD dan SMP. Ini tidak lepas dari uapaya keras dari Budayan yang tergabung dalam Dewan Kesenian Blambangan (DKB) dan Budayawan Hasan Ali yang menyusun Kamu Using. Berngasur-angsur wong Using juga mulai menunjukkan eksistensi dalam berbagai aspek kehidupan. Bahkan sempat menempatkan Syamsul Hadi yang orang Using sebagai Bupati, meski akhirnya terjerat sejumlah kasus korupsi. Sebelumnya, Bupati Banyuwangi selalu dijabat orang dari luar dan tentara tentunya. Saat Orde Lama pernah dijabat M Yusuf, itupun sementara setelah Bupati aslinya terlibat PKI. Saat Orde Baru, ternyata meneruskan Mataram. Bisa percaya bisa tidak, dua pejabat Bupati banyuwangi berasal dari Mojokerto (dulu Majapahit), yaitu Djoko Supaat dan T. Pornomo Sidik. Saat Mataram menguasai Blambangan, juga menggunakan backgorund Majahit dalam cerita Damarwulan untuk mendiskreditkan Raja Blambangan….
Sumber: osingketarajasa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar