Barong Kemiren atau juga disebut Barong Using (Osing), merupakan
kesenian kuno di Banyuwangi, Jawa Timur. Meski tergerus zaman, kesenian
asli Suku Osing ini masih lestari.
Lahirnya Barong Kemiren
diawali keberadaan Desa Kemiren. Konon, ada seorang begawan yang dikenal
dengan sebutan Mbah Buyut Cili datang merantau ke Bumi Blambangan. Dia
mencari lokasi yang cocok untuk menetap dan menemukan hutan ditumbuhi
banyak pohon kemiri, duren dan aren.
Bersama Mbah Sapuah, Buyut
Cili mendirikan perkampungan. Karena makin banyak pengikut, lokasi itu
diberi nama Kampung Kemiren, asal kata kemiri, duren dan aren. Desa
Kemiren dihuni suku adat asli Banyuwangi; Suku Osing.
Setelah
makin banyak pengikut, Buyut Cili hilang-muksa. Beberapa tahun kemudian,
Desa Kemiren yang subur dengan hasil buah-buahan melimpah diserang
bagebluk atau wabah penyakit yang sulit diobati.
Dalam kondisi
panik, Mbah Sapuah, bekali-kali ditemui Buyut Cili melalui mimpi. Dalam
mimipinya, Buyut Cili berdialog dengan Mbah Sapua. "Isun wes ngaleh
panggonan. Engko onok loro petilasan, dadi panggonanku. Isun ngerti
karep sirok. Pagebluk biso ilang. Sirok goleko kayu polek suwedak
sentian (60 cm) loro, lebokno jero sumur. Bagebluk biso ilang kudu idher
bumi pakek barong," pesan gaib Buyut Cili ke Mbah Sapua.
Dalam
Bahas Indonesia, kira-kira begini artinya: Aku sudah pindah tempat.
Akan ada dua makam, yang akan jadi tempat baruku. Aku tahu maksud kamu.
Penyakit bisa hilang. Kamu cari dua kayu polek sepanjang 60 cm,
rendamlah dalam sumur. Bagebluk bisa hilang jika ada ruwat desa dengan
barong.
Selanjutnya, Mbah Sapua melaksanakan pesan Buyut Cili,
dan meminjam barong di daerah Dandang Miring, Banyuwangi. Hari kedua di
Hari Raya Idul Fitri, ritual idher bumi mengusir penyakit digelar.
Acara
ruwat desa selain menggelar seni pertunjukan barong, juga dilakukan
ritual tumpeng sewu menyajikan makanan khas Tanah Osing; Pecel pitek
(ayam). Makanan dari ayam kampung yang sudah dipanggang, dan diberi
bumbu parutan kelapa super pedas.
Selanjutnya, ritual idher bumi digelar pada tanggal pertama, hari Senin atau Jumat di Bulan Haji (Idul Adha).
Setelah
itu Buyut Cili kembali menemui Mbah Sapua melalui mimipi. Sapua diminta
membuat barong dari kayu yang direndamnya dalam sumur. Maka dibuatlah
dua barong, satu barong berwujud buruk rupa dan seram. Satu lagi
berwujud harimau hijau.
Barong Kemiren kemudian diwariskan ke
Mbah Tompo generasi kedua barong agar merawat dan melestarikan tradisi
kesenian adat Kemiren tersebut.
Saat pendudukan Belanda, Tompo
mengungsi kedaerah lain sambil membawa barong. Di tempat barunya, dia
bertemu dua ahli pembuat topeng yang kemudian dimintanya membuat barong.
Saat itulah, lahir barong baru yang lebih bagus dari aslinya.
Tompo kemudian kembali ke Kemiren membawa barong baru. Karena dianggap
untuk sarana pemberontakan, Belanda menyita barong milik Tompo dan
membawa ke markasnya.
Kejadian mistis terjadi di markas Belanda.
Bumi bergoyang, seperti ada gempa tiap malam. Setelah diselidiki,
ternyata gempa itu berasal dari barong. Belanda akhirnya meyerahkan
kembali barong ke warga Kemiren dengan syarat hanya digunakan untuk
berkesenian.
Sampai saat ini, Barong Kemiren masih dilestarikan
oleh Suku Osing di Desa Kemiren. Oleh Tompo, barong diwariskan ke
Syamsuri. Berlanjut ke Saleh dan Sapi'i hingga akhirnya dilestarikan
oleh Sucipto hingga sekarang.
Kisah cikal-bakal Desa Kemiren dan
Barong Osing ini diceritakan oleh generasi keenam Barong Kemiren,
Sucipto saat ditemui merdeka.com di kediamannya, Jalan Perkebunaan
Kalibendo Nomor 7, Desa Kemiren.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar