Barong Kemiren atau juga disebut Barong Using (Osing), merupakan
kesenian kuno di Banyuwangi, Jawa Timur. Meski tergerus zaman, kesenian
asli Suku Osing ini masih lestari.
Lahirnya Barong Kemiren
diawali keberadaan Desa Kemiren. Konon, ada seorang begawan yang dikenal
dengan sebutan Mbah Buyut Cili datang merantau ke Bumi Blambangan. Dia
mencari lokasi yang cocok untuk menetap dan menemukan hutan ditumbuhi
banyak pohon kemiri, duren dan aren.
Bersama Mbah Sapuah, Buyut
Cili mendirikan perkampungan. Karena makin banyak pengikut, lokasi itu
diberi nama Kampung Kemiren, asal kata kemiri, duren dan aren. Desa
Kemiren dihuni suku adat asli Banyuwangi; Suku Osing.
Setelah
makin banyak pengikut, Buyut Cili hilang-muksa. Beberapa tahun kemudian,
Desa Kemiren yang subur dengan hasil buah-buahan melimpah diserang
bagebluk atau wabah penyakit yang sulit diobati.
Dalam kondisi
panik, Mbah Sapuah, bekali-kali ditemui Buyut Cili melalui mimpi. Dalam
mimipinya, Buyut Cili berdialog dengan Mbah Sapua. "Isun wes ngaleh
panggonan. Engko onok loro petilasan, dadi panggonanku. Isun ngerti
karep sirok. Pagebluk biso ilang. Sirok goleko kayu polek suwedak
sentian (60 cm) loro, lebokno jero sumur. Bagebluk biso ilang kudu idher
bumi pakek barong," pesan gaib Buyut Cili ke Mbah Sapua.
Dalam
Bahas Indonesia, kira-kira begini artinya: Aku sudah pindah tempat.
Akan ada dua makam, yang akan jadi tempat baruku. Aku tahu maksud kamu.
Penyakit bisa hilang. Kamu cari dua kayu polek sepanjang 60 cm,
rendamlah dalam sumur. Bagebluk bisa hilang jika ada ruwat desa dengan
barong.
Selanjutnya, Mbah Sapua melaksanakan pesan Buyut Cili,
dan meminjam barong di daerah Dandang Miring, Banyuwangi. Hari kedua di
Hari Raya Idul Fitri, ritual idher bumi mengusir penyakit digelar.
Acara
ruwat desa selain menggelar seni pertunjukan barong, juga dilakukan
ritual tumpeng sewu menyajikan makanan khas Tanah Osing; Pecel pitek
(ayam). Makanan dari ayam kampung yang sudah dipanggang, dan diberi
bumbu parutan kelapa super pedas.
Selanjutnya, ritual idher bumi digelar pada tanggal pertama, hari Senin atau Jumat di Bulan Haji (Idul Adha).
Setelah
itu Buyut Cili kembali menemui Mbah Sapua melalui mimipi. Sapua diminta
membuat barong dari kayu yang direndamnya dalam sumur. Maka dibuatlah
dua barong, satu barong berwujud buruk rupa dan seram. Satu lagi
berwujud harimau hijau.
Barong Kemiren kemudian diwariskan ke
Mbah Tompo generasi kedua barong agar merawat dan melestarikan tradisi
kesenian adat Kemiren tersebut.
Saat pendudukan Belanda, Tompo
mengungsi kedaerah lain sambil membawa barong. Di tempat barunya, dia
bertemu dua ahli pembuat topeng yang kemudian dimintanya membuat barong.
Saat itulah, lahir barong baru yang lebih bagus dari aslinya.
Tompo kemudian kembali ke Kemiren membawa barong baru. Karena dianggap
untuk sarana pemberontakan, Belanda menyita barong milik Tompo dan
membawa ke markasnya.
Kejadian mistis terjadi di markas Belanda.
Bumi bergoyang, seperti ada gempa tiap malam. Setelah diselidiki,
ternyata gempa itu berasal dari barong. Belanda akhirnya meyerahkan
kembali barong ke warga Kemiren dengan syarat hanya digunakan untuk
berkesenian.
Sampai saat ini, Barong Kemiren masih dilestarikan
oleh Suku Osing di Desa Kemiren. Oleh Tompo, barong diwariskan ke
Syamsuri. Berlanjut ke Saleh dan Sapi'i hingga akhirnya dilestarikan
oleh Sucipto hingga sekarang.
Kisah cikal-bakal Desa Kemiren dan
Barong Osing ini diceritakan oleh generasi keenam Barong Kemiren,
Sucipto saat ditemui merdeka.com di kediamannya, Jalan Perkebunaan
Kalibendo Nomor 7, Desa Kemiren.
Banyuwangi Kota Santet
Rabu, 15 Maret 2017
ASAL USUL BANYUWANGI VERSI SUNAN KALIJAGA
beberapa cuplikan dari serat darmo gandul:
”Sang Prabu karsane arêp ngrangkul Sabdapalon lan Nayagenggong, nanging wong loro mau banjur musna. Sang Prabu ngungun sarta nênggak waspa, wusana banjur ngandika marang Sunan Kalijaga: ”Ing besuk nagara Blambangan salina jênêng nagara Banyuwangi, dadiya têngêr Sabdapalon ênggone bali marang tanah Jawa anggawa momongane. Dene samêngko Sabdapalon isih nglimput aneng tanah sabrang.”
” Sang Prabu mendengar kata-kata Sabdapalon dalam batin merasa
sangatmenyesal karena telah memeluk agama Islam dan meninggalkan agama Buddha.Lama
beliau tidak berkata. Kemudian ia menjelaskan bahwa masuknya agama
Islamitukarena terpikat kata putri Cempa, yang mengatakan bahwa orang
agama Islam itukelak apabila mati, masuk surga yang melebihi surganya
orang kafir.Sabdapalon berkata sambil meludah, “Sejak jaman kuno, bila
laki-laki menurutperempuan, pasti sengsara, karena perempuan itu
utamanya untuk wadah, tidakberwewenang memulai kehendak.” Sabdapalon
banyak-banyak mencaci Sang Prabu.”Kamu cela sudah tanpa guna, karena
sudah terlanjur, sekarang hanya kamu kutanya,masihkah tetapkah tekadmu?
Aku masuk agama Islam, sudah disaksikan oleh siSahid, sudah tidak bisa
kembali kepada Buddha lagi.”Sabdapalon berkata bahwa dirinya akan
memisahkan diri dengan beliau. Ketikaditanya perginya akan ke mana? Ia
menjawab tidak pergi, tetapi tidak berada di situ,hanya menepati yang
namanya Semar, artinya meliputi sekalian wujud, anglelakalingan padang.Sang
Prabu bersumpah, besok apabila ada orang Jawa tua, berpengetahuan,
yaitulahyang akan diasuh Sabdapalon. Orang Jawa akan diajari tahu benar
salah. SangPrabu hendak merangkul Sabdapalon dan Nayagenggong, tetapi
kedua orangtersebut musnah. (=tiba-tiba menghilang; red: bandingkan
pencapaian kedua orang inidengan kisah para arahat pada jaman Sakyamuni
Buddha)Sang Prabu kemudian menyesal dan meneteskan air mata. Kemudian
berkata kepadaSunan Kalijaga, “Besok Negara Blambangan gantilah nama
dengan NegaraBanyuwangi agar menjadi pertanda kembalinya Sabdapalon ke
tanah Jawamembawa asuhannya. Adapun kini Sabdopalon masih dalam alam
Ghaib.”
sumber lain:
Berikut cuplikan sejarah prabu brawijaya yang akan menyebrang ke pulau bali akibat majapahit telah dikuasai raden patah……”Sunan Kalijaga meminta bukti ketulusan Sang Prabhu dalam memeluk Islam. Sunan Kalijaga memohon untuk memotong rambut panjang Sang Prabhu. Dengan sebilah keris, setelah diijinkan, Sunan Kalijaga memotong rambut beliau. Tapi ternyata…, tidak satu helai-pun terpotong. Sekali lagi, Sunan Kalijaga meminta keikhlasan Sang Prabhu memeluk Islam, dan sekali lagi Sunan Kalijaga memotong rambut beliau. Kali ini, terpotong sudah. Namun, Sunan Kalijaga belum puas, menjelang berangkat kembali ke Trowulan, Sunan Kalijaga mengambil air comberan yang berbau tidak sedap dimasukkan kedalam sebilah bambu. Dihadapan Sang Prabhu, beliau menyatakan, bahwasanya apabila air comberan ini sesampainya di Trowulan airnya berubah tidak berbau busuk, nyata sudahlah Sang Prabhu telah lahr bathin masuk Islam.Berangkatlah rombongan itu ke Trowulan,sesampainya di Trowulan, disambut dengan suka cita oleh masyarakat Trowulan. Air dalam bilah bambu dicurahkan oleh Sunan Kalijaga, dan ternyata, bau busuknya hilang, bahkan airnya berubah jernih. Untuk mengingat kejadian itu, Blambangan diubah namanya menjadi BANYUWANGI hingga sekarang.
”Sang Prabu karsane arêp ngrangkul Sabdapalon lan Nayagenggong, nanging wong loro mau banjur musna. Sang Prabu ngungun sarta nênggak waspa, wusana banjur ngandika marang Sunan Kalijaga: ”Ing besuk nagara Blambangan salina jênêng nagara Banyuwangi, dadiya têngêr Sabdapalon ênggone bali marang tanah Jawa anggawa momongane. Dene samêngko Sabdapalon isih nglimput aneng tanah sabrang.”
- “Sang Prabu berkeinginan merangkul Sabdo Palon dan Nayagenggong, namun orang dua itu kemudian raib. Sang Prabu heran dan bingung kemudian berkata kepada Sunan Kalijaga : “Gantilah nama Blambangan menjadi Banyuwangi, jadikan ini sebagai tanda kembalinya Sabda Palon di tanah Jawa membawa asuhannya. Sekarang ini Sabdo Palon masih berkelana di tanah seberang.”
. Paduka itu raja mulia tenti tidak akan khilafkepada kata-kata
hamba ini.””Apa kamu tidak mau masuk agama Islam?” tanya PrabuSabdopalon
berkata dengan sedih, “Ikut agama lama, kepada agama baru tidak!Kenapa
Paduka berganti agama tidak bertanya hamba? Apakah Paduka lupa
namahamba, Sabdapalon? Sabda artinya kata-kata, Palon kayu pengancing kandang.Naya
artinya pandangan, Genggong artinya langgeng tidak berubah. Jadi
bicarahamba itu, bisa untuk pedoman orang tanah Jawa, langgeng
selamanya.””Bagaimana ini, aku sudah terlanjur masuk agama Islam, sudah
disaksikan Sahid, akutidak boleh kembali kepada agama Buda lagi, aku
malu apabila ditertawakan bumilangit.””Iya sudah, silahkan Paduka jalani
sendiri, hamba tidak ikut-ikutan.”Sunan Kalijaga kemudian berkata
kepada Sang Prabu, yang isinya janganmemikirkan yang tidak-tidak, karena
agama Islam itu sangat mulia.Ia
akan menciptakan air yang di sumber sebagai bukti, lihat bagaimana
baunya. Jikaair tadi bisa berbau wangi, itu pertanda bahwa Sang Prabu
sudah mantap kepadaagama Rasul, tetapi apabila baunya tidak wangi, itu
pertanda jika Sang Prabu masihberpikir Budha.Sunan
Kalijaga kemudian mengheningkan cipta. Seketika air sumber menjadi
berbauwangi. Sunan Kalijaga berkata kepada Sang Prabu, seperti yang
sudah dikatakan,bahwaSang Prabu nyata sudah mantap kepada agama Rasul,
karena air sumberbaunya wangi.
sumber lain:
Berikut cuplikan sejarah prabu brawijaya yang akan menyebrang ke pulau bali akibat majapahit telah dikuasai raden patah……”Sunan Kalijaga meminta bukti ketulusan Sang Prabhu dalam memeluk Islam. Sunan Kalijaga memohon untuk memotong rambut panjang Sang Prabhu. Dengan sebilah keris, setelah diijinkan, Sunan Kalijaga memotong rambut beliau. Tapi ternyata…, tidak satu helai-pun terpotong. Sekali lagi, Sunan Kalijaga meminta keikhlasan Sang Prabhu memeluk Islam, dan sekali lagi Sunan Kalijaga memotong rambut beliau. Kali ini, terpotong sudah. Namun, Sunan Kalijaga belum puas, menjelang berangkat kembali ke Trowulan, Sunan Kalijaga mengambil air comberan yang berbau tidak sedap dimasukkan kedalam sebilah bambu. Dihadapan Sang Prabhu, beliau menyatakan, bahwasanya apabila air comberan ini sesampainya di Trowulan airnya berubah tidak berbau busuk, nyata sudahlah Sang Prabhu telah lahr bathin masuk Islam.Berangkatlah rombongan itu ke Trowulan,sesampainya di Trowulan, disambut dengan suka cita oleh masyarakat Trowulan. Air dalam bilah bambu dicurahkan oleh Sunan Kalijaga, dan ternyata, bau busuknya hilang, bahkan airnya berubah jernih. Untuk mengingat kejadian itu, Blambangan diubah namanya menjadi BANYUWANGI hingga sekarang.
Sejarah Asal Usul Suku Osing Banyuwangi
Sesekali interaksi terjadi, antara masyarakat asli dan pendatang. Dalam interaksi tersebut, masyarakat asli acapkali menggunakan istilah “sing” atau “hing” yang berarti “tidak”. Dari sanalah penamaan Wong Using berasal. Sementara masyarakat asli menyebut kaum pendatang dengan istilah “Wong Kiye”. Selain perkataan “tidak” yang mencirikan penolakan interaksi dengan pendatang, masyarakat Using juga menggunakan peristilahan yang “kasar” seperti asu, celeng, luwak, bajul atau bojok. Menurut Hasnan Singodimayan, peristilahan itu selain sebagai bahasa sandi juga mempertegas penolakan masyarakat Using terhadap berbagai bentuk “penjajahan” yang dialami dalam perjalanan sejarah mereka
Penduduk sisa-sisa rakyat Blambangan yang mendiami wilayah Kabupaten Banyuwangi, sebagian Jember, Bondowoso, Situbondo dan Lumajang disebut masyarakat Using. Dulu sebelum dibakukan, banyak menulis dengan kata “Osing” kadang juga “Oseng”, namun setelah diurai secara fonetis oleh pakar Linguisitik dari Universitas Udayana Bali (Prof Heru Santoso), diperoleh kesepakatan resmi dengan menulis kata “Using” yang berarti “Tidak”. Pertanyaannya, kenapa orang asli Blambangan disebut Using? Penyebutan itu, sebetulnya bukan permintaan orang-orang Blambangan. Ini lebih merupakan ungkapan prustasi dari penjajah Belanda saat itu, karena selalu gagal membunjuk orang-orang sisa Kerajaan Blambangan untuk bekerja sama. Kendati pimpinan mereka sudah dikalahkan, tetapi tidak secara otomatis menyerah kepada musuh. Sikap yang sama, juga ditujukkan saat awal-awal Orde Baru berkuasa, orang Banyuwangi paling susah diajak kerja sama, atau menjadi pegawai Negeri. Mereka masih menganggap, pemerintahan yang ada tidak jauh berbeda dengan penjajah Belanda.
Meski akhirnya sikap “Sing” ini berangsur-angsur melunak, dengan banyaknya orang Using yang menjadi pegawai negeri, atau masuk ranah-ranah publik yang sebelumnya tidak pernah dilakukan, namun nama “Using” sudah terlanjur melekat. Bahkan tumbuh kebanggan kolektif, bila disebut sebagai orang Using. Setelah generasi-generasi muda itu, tahu sejarah bagaimana nenek moyangnya berjuang mati-matian, mempertahankan wilayah dan harga diri.
Perang “Puputan” atau juga dikenal perang habis-habisan, akhirnya dijadikan tonggak hari lahirnya Kabupaten Banyuwangi. Pertimbangannya, semangat heroik dari tentara Blambangan ini diharapkan bisa menjadi tauladan. Bahkan seorang penulis asal Belanda menyebutkan, jika rakyat Blambangan hanya tinggal berapa ribu saja. Sebagai bentuk penekanan terhadap warkat Blambangan, kepala laskar Blambangan yang kalah perang, ditancapkan di sepanjang jalan. Meski demikian, sisa rakyat Blambangan tidak langsung menyerah dan tunduk kepada musuh. Mereka memilih mengungsi ke gunung atau membentuk kelompok-kelompok kecil. Mereka berkomunikasi menggunakan bahasa-bahasa sandi, berupa nama-nama bintang. Kelang bahasa sandi ini menjadi umpatan khas wong Using. Selain itu, bahasa Using dikenal mempunyai ratusan dialek. Setiap kampung-kampung Using, bisa diidentifikasi dari cara mereka berbicara dan berpakaian. Misalnya dalam satu pertemuan besar di sebuah lapangan, maka mereka akan mudah mengenali orang Using dari daerah mana, dari cara mereka berbicara.
Selain itu, ternyata kampung-kampung Using tidak ada yang menghadap jalan raya. Umumnya kampung Using itu merupakan jalan kecil dari sebuah jalan raya beraspal, kemudian di kawasan itu berjubel pemukiman. Meski berada di pedesaan, namun kampung-kampung Using terkenal padat. Ini ternyata tidak lepas dari sejarah masa lalu wong Using yang selalu dilanda ketakutan, pasca kekalahan laskar Blambangan pada Perang Puputan Bayu. Mereka selalu berkelompok dan selalu mewaspadai kedatangan orang asing.
Akibat tidak mau bekerja sama dengan Belanda, praktis Wong Using mengkonsentrasikan hidupnya di sektor pertanian. Sementara sentra-sentra perekonomian lain di Banyuwangi, justru banyak ditempati orang di luar Banyuwangi. Sektor perkebunan yang rata-rata saat itu milik Belanda dan Inggris, banyak dikerjakan orang Madura. Saat itu, wong Using sangat menolak keras kerja sama dengan Belanda dan pemilik kebun. Sektor laut, justru banyak dilakukan orang-orang dari Madura, seperti di Muncar. Sektor pemerintahan bisa ditebak, tidak ada orang-orang Using yang mau bekerja di sektor ini. Meski diantara mereka ada yang sekolah hingga perguruan tinggi, namun tidak begitu saja orang-orang Using mengijinkan anaknya menjadi pegawai negeri. Mereka masih beranggapan, pemerintahan itu adalah penjajah, karena melanjutkan pemerintahan yang dibentuk Belanda. Sikap menolak bekerjasama dengan musuh ini, bisa dilihat dari keberadaan Pabrik Gula. Meski Banyuwangi merupakan wilayah pertanian yang subur, namun Belanda saat itu tidak berhasil memaksa warga Banyuwangi untuk menanam tebu sebagai pemasok pabrik gula. Padahal di Jember dan Situbondo, bertengger sejumlah pabrik gula. Nyaris kehidupan feodal hanya tumbuh di perkebunan, seperti di wilayah Glenmore dan Kalibaru.
Dari aspek seni-budaya, orang luar banyak menyatakan. jika budaya dan kesenian Banyuwangi merupakan perpaduan Jawa-Madura dan Bali. Pernyataan ini memang tidak terbantahkan, karena letak geografis Banyuwangi yang berdekatan dengan Bali. Namun ada yang menarik dari catatan Sejarawan asal Belanda TG. Pigeaud dalam bukunya Runtuhkan Kerajaan Mataram Islam. Dalam buku itu disebutkan. jika wilayah Kerajaan Blambangan saat itu, menjadi rebutan antara Kerajaan Mataram di bawah Sultan Agung dengan kerajaan Mengwi di Bali. Dr. Theodoor Gautier Thomas Pigeaud menyatakan, suatusaat pengaruh Bali sangat kuat dalam segala aspek kehidupan rakyat Blambangan, maka saat itu pula pengaruh Mataram melemah. Namun apabila Mataram sudah bisa mengusai kembali sendi-sendi kehidupan di Blambangan, saat itu juga pengarusnya secara sosial kemasyarakat juga akan kuat. Dalam proses inilah, lahir kesenian semacam Janger yang mirip dengan langedrian yang ada di Yogyakarta, dengan cerita diambil dari Serat Damarwulan yang ditulis Pujangga di Kerajaan Mataram. Atau Kesenian Praburoro yang mengabil cerita Hikayat Amir Hamzah (Kata orang Using: Amir Ambyah), kesenian ini juga bisa ditemukan di Sleman DIY. Janger bentuk sampaan seperti Ketoprak, sedang Praburoro seperti Wayang Orang. Namun mocopat yang berkembang di Banyuwangi, bukan berasal dari kalangan Keraton, melainkan mocopat pesisiran. Nama-nama pupuhnya hampir sama, hanya ada penekanan pada pupuh-pupuh tertentu.
Setelah itu, orang-orang Mataraman atau bisa disebut Jowo Kulon mulai masuk Banyuwangi, trerutama daerah selatan. Mereka juga membawa kesenian, seperti wayang, Reog Ponorogo dan kesenian Jawa lainnya. Namun dalam perkembangannya, terjadi asimilasi. Misalnya, secara teknis seniman Banyuwangi itu mempunyai ciri khas dalam memukul alat musik, yaitu tekhnik timpalan. Ini terjadi baik cara memukul gamelan, maupun rebana (terbang).
Namun dalam kehidupan sosial, kadang orang-orang pendatang ini merasa lebih tinggi dibanding orang asli Banyuwangi. Mereka memang mengusai sektor-sektor formal. Misalnya pegawai Negeri di Kabupaten hingga Kecamatan, banyak dijabat orang pendatang. Mereka yang masih selaran dengan perjuangan Mataram ini, kadang memandang orang asli Banyuwangi sebelah mata. Padangan orang terbelakang dan tidak mau diajak maju, kadang sulit dihilangkan. Apalagi pada saat jaman pergolakan poilitik, kesenian dan senimam Banyuwangi yang yang tergabung dan digunakan propaganda oleh PKI. Lengkap sudah penderitaan sisa-sisa Laskar Blambangan ini.
Sebagai pemilik syah atas warisan leluhurnya,ternyata orang-orang Using sangat sulit memperjuangkan Bahasa Using sebagai materi ajar di sejumlah sekolah dasar. Ini tidak heran, karena para pejabat di Pemkab Banyuwangi dan Dinas Pendidikan saat itu, memang dijabat orang Jowo Kulonan. Mereka masih beragapan sebagai penjajah, karena menganggap Bahasa using sebagai sub-dealek dari Bahasa Jawa. Padahal berdasarkan penelitian Profersor Heru Santoso, Using bukan sebagai dialek-Jawa,tetapi sudah merupakan bahasa sendiri. Tentu kaidah-kaidah menetukan suatu bahasa disebut bahasa sendiri, bukan sebagai dialek, sudah dikupas panjang lebar oleh Pakar Linguistik dari Udayana Bali ini.
Bahkan peneliti dari Balai Bahasa Yogyakarta, Wedawaty menyebutkan, jika bahasa Using dan Bahasa Jawa itu kedudukannya sama sebagai turunan dari Bahasa Jawa Kuno ayau Bahasa Kawi. Bahasa Jawa sekarang lebih berkembang, terutama adanya strata atau tingkatan bahasa sesuai kasta dan umur. Namun bahasa Using terlihat lebih statis, karena tidak mengenal tingkatan tutur, seperti Bahasa kawi induknya. Bahkan Budayawan using, Hasan Ali menduga, kota kata Bahasa Bali dalam Balines-Nederland yang disusun seorang misionaris Belanda adalah kota kata Bahasa using, karena penyusunlan puluhan tahun tinggal di Blambangan, sebelum bisa menyebrang ke Bali.
Alahmdullah, setelah puluhan tahun perjuangan, akhirnya Bahasa Using diajarkan di tingkat SD dan SMP. Ini tidak lepas dari uapaya keras dari Budayan yang tergabung dalam Dewan Kesenian Blambangan (DKB) dan Budayawan Hasan Ali yang menyusun Kamu Using. Berngasur-angsur wong Using juga mulai menunjukkan eksistensi dalam berbagai aspek kehidupan. Bahkan sempat menempatkan Syamsul Hadi yang orang Using sebagai Bupati, meski akhirnya terjerat sejumlah kasus korupsi. Sebelumnya, Bupati Banyuwangi selalu dijabat orang dari luar dan tentara tentunya. Saat Orde Lama pernah dijabat M Yusuf, itupun sementara setelah Bupati aslinya terlibat PKI. Saat Orde Baru, ternyata meneruskan Mataram. Bisa percaya bisa tidak, dua pejabat Bupati banyuwangi berasal dari Mojokerto (dulu Majapahit), yaitu Djoko Supaat dan T. Pornomo Sidik. Saat Mataram menguasai Blambangan, juga menggunakan backgorund Majahit dalam cerita Damarwulan untuk mendiskreditkan Raja Blambangan….
Sumber: osingketarajasa
Pembantaian Banyuwangi 1998
Pembantaian Banyuwangi 1998
Kejadian Awal
Pembunuhan pertama terjadi pada Februari 1998 dan memuncak hingga Agustus dan September 1998. Pada kejadian pertama di bulan Februari tersebut, banyak yang menganggapnya sebagai sesuatu yang biasa, dalam artian kejadian tersebut tidak akan menimbulkan sebuah peristiwa yang merentet panjang. Pembunuh dalam peristiwa ini adalah warga-warga sipil dan oknum asing yang disebut ninja. Dalam kejadian ini, setelah dilakukan pendataan korban. Ternyata banyak di antara para korban bukan merupakan dukun santet. Di antarapara korban terdapat guru mengaji, dukun suwuk (penyembuh) dan tokoh-tokoh masyarakat seperti ketua RT atau RW.- "Sasarannya malah komunitas Using dan komunitas santri. Dan ternyata yang terkena cuma guru ngaji, seorang tua yang tukang suwuk, kalau ada tokoh, ya tokoh lokal. Sehingga konseptor merasa gagal" –Hasnan Singodimayan, budayawan. wawancara TvOne.
Radiogram Bupati Pur
Pada 6 Februari 1998, Bupati Banyuwangi saat itu Kolonel Polisi (Purn) HT. Purnomo Sidik mengeluarkan radiogram yang ditujukan untuk seluruh jajaran aparat pemerintahan dari camat hingga kepala desa untuk mendata orang-orang yang ditengarai memiliki ilmu supranatural dan untuk selanjutnya melakukan pengamanan dan perlindungan terhadap orang-orang tersebut. Radiogram selanjutnya dikeluarkan pada bulan September yang berisi penegasan terhadap radiogram sebelumnya. Namun yang terjadi, setelah radiogram dikeluarkan dan dilakukan pendataan, pembantaian malah semakin meluas. Dalam sehari ada 2-9 orang yang terbunuh. Sehingga masyarakat berasumsi bahwa radiogram bupati tersebut adalah penyebab dari pembantaian dan radiogram yang berisi perintah pengamanan tersebut adalah dalih pemerintah untuk membasmi tokoh-tokoh yang berlawanan ideologi dengan pemerintah. Selain itu muncul spekulasi bahwa pembantaian tersebut didalangi oleh oknum TNI, namun hal itu tidak terbukti hingga saat ini.- "Cepak! Cepak! Tentara itu yang nyuruh! Nah, kan. Tentara lagi yang dituduh. Jadi analisa kami bahwa itu untuk menumbuhkan rasa ketidakpercayaan terhadap aparat" Djoko Soebroto, mantan Pangdam V Brawijaya. Wawancara TvOne.
- "Seperti di daerah Bubuk itu. Mereka didata, malamnya ada yang nyerbu" –Utomo Dauwis, anggota TPF NU. Wawancara TvOne.
- "Kita tidak menafsirkan berbeda (radiogram), jadi pelaksanaannya seperti itu dan kita lakukan pengamanan terhadap mereka" Asmai Hadi, mantan camat Banyuwangi. Wawancara TvOne.
Ninja
Pada masa pembantaian muncul sosok yang disebut ninja. Ninja tersebut memakai pakaian serba hitam dan kedapatan memakai handy-talky dalam beroperasi. Ada dua versi mengenai ninja ini. Ada yang menyebutkan bahwa ninja tersebut adalah orang yang hanya berkostum hitam dan membawa senjata, sedangkan yang lain menceritakan bahwa sosok ninja yang mereka lihat adalah seperti ninja di Jepang dan mampu bergerak ringan melompat dari sisi ke sisi yang tidak akan bisa dilakukan oleh manusia biasa. Mereka sangat terlatih dan sistematis. Saat itu, yang terjadi adalah listrik tiba-tiba mati dan sesaat kemudian terdapat seseorang yang sudah meninggal karena dibunuh. Keadaan mayat pada saat itu ada yang sudah terpotong-potong, patah tulang ataupun kepala yang pecah.- "Karena santri itu panik, ada yang bilang berpakaian hitam, ada yang bilang berpakaian biru. Sambil jerit-jerit, kata mereka itu yang tiga (orang) di dalam yang tiga di luar" –H. Ali Sudarji, target pembunuhan yang berhasil lolos. Wawancara TvOne-
Munculnya gelandangan dan orang gila
Pada masa pembantaian ini muncul sekelompok gelandangan dan orang gila di penjuru kabupaten. Baik di desa maupun di kota. Para orang gila ini menunjukkan hal yang janggal seperti mampu menjawab dengan baik pertanyaan penanya, namun ketika ditanya mengenai asal usulnya, mereka akan bertingkah seperti orang gila. Hal ini menimbulkan spekulasi bahwa orang-orang gila ini terlibat dalam peristiwa pembantaian. Dugaan tersebut semakin diperkuat dengan menghilangnya orang-orang gila tersebut tanpa upaya apapun dari pihak berwenang saat pembantaian mulai mereda.Korban
Berkut ini data korban dari versi, yakni versi Pemkab dan Tim Pencari Fakta Nahdlatul UlamaKecamatan | Versi Pemkab (orang) |
Versi TPF NU (orang) |
Kecamatan | Versi Pemkab (orang) |
Versi TPF NU (orang) |
---|---|---|---|---|---|
Kota | 2 | 2 | Cluring | 10 | 11 |
Giri | 12 | 12 | Tegaldlimo | 2 | 2 |
Glagah | 10 | 8 | Purwoharjo | 4 | 3 |
Kalipuro | 4 | 2 | Gambiran | 3 | 7 |
Kabat | 19 | 16 | Genteng | 2 | 5 |
Rogojampi | 16 | 19 | Sempu | 5 | 16 |
Wongsorejo | 3 | 3 | Bangorejo | 0 | 3 |
Singojuruh | 9 | 9 | Glenmore | 0 | 3 |
Songgon | 10 | 20 | Kalibaru | 2 | 2 |
Srono | 2 | 3 | Muncar | 0 | 1 |
Jumlah | 115 | 147 |
BUPATI BANYUWANGI
DAFTAR BUPATI BANYUWANGI
R.Oesman Soemodinoto | R. Soegito Noto Soegito | Djoko Supaat Slamet |
Periode : 1942 - 1947 | Periode : 1955 - 1965 | Periode : 1966 - 1978 |
Susilo Suhartono, SH | S. Djoko Wasito | Harwin Wasisto |
Periode : 1978 - 1983 | Periode : 1983 - 1988 | Periode : 1988 - 1991 |
H. Turyono Purnomo Sidik | Ir. H. Samsul Hadi | Ratna Ani Lestari, SE. MM. |
Periode : 1991 - 2000 | Periode : 2000 - 2005 | Periode : 2005 - 2010 |
|
||
Abdullah Azwar Anas, M.Si. | ||
Periode : 2015 - 2021 |
Asal Usul Kota BANYUWANGI
SEJARAH KABUPATEN BANYUWANGI
Merujuk
data sejarah yang ada, sepanjang sejarah Blambangan kiranya tanggal 18
Desember 1771 merupakan peristiwa sejarah yang paling tua yang patut
diangkat sebagai hari jadi Banyuwangi. Sebelum peristiwa puncak perang
Puputan Bayu tersebut sebenarnya ada peristiwa lain yang mendahuluinya,
yang juga heroik-patriotik, yaitu peristiwa penyerangan para pejuang
Blambangan di bawah pimpinan Pangeran Puger ( putra Wong Agung Wilis )
ke benteng VOC di Banyualit pada tahun 1768.
Namun sayang peristiwa tersebut tidak tercatat secara
lengkap pertanggalannya, dan selain itu terkesan bahwa dalam
penyerangan tersebut kita kalah total, sedang pihak musuh hampir tidak
menderita kerugian apapun. Pada peristiwa ini Pangeran Puger gugur,
sedang Wong Agung Wilis, setelah Lateng dihancurkan, terluka, tertangkap
dan kemudian dibuang ke Pulau Banda ( Lekkerkerker, 1923 ).
Berdasarkan data sejarah nama Banyuwangi tidak dapat terlepas dengan
keajayaan Blambangan. Sejak jaman Pangeran Tawang Alun (1655-1691) dan
Pangeran Danuningrat (1736-1763), bahkan juga sampai ketika Blambangan
berada di bawah perlindungan Bali (1763-1767), VOC belum pernah tertarik
untuk memasuki dan mengelola Blambangan ( Ibid.1923 :1045 ).
Pada tahun 1743 Jawa Bagian Timur ( termasuk
Blambangan ) diserahkan oleh Pakubuwono II kepada VOC, VOC merasa
Blambangan memang sudah menjadi miliknya. Namun untuk sementara masih
dibiarkan sebagai barang simpanan, yang baru akan dikelola
sewaktu-waktu, kalau sudah diperlukan. Bahkan ketika Danuningrat memina
bantuan VOC untuk melepaskan diri dari Bali, VOC masih belum tertarik
untuk melihat ke Blambangan (Ibid 1923:1046).
Namun barulah setelah Inggris menjalin hubungan
dagang dengan Blambangan dan mendirikan kantor dagangnya (komplek
Inggrisan sekarang) pada tahun 1766 di bandar kecil Banyuwangi ( yang
pada waktu itu juga disebut Tirtaganda, Tirtaarum atau Toyaarum), maka
VOC langsung bergerak untuk segera merebut Banyuwangi dan mengamankan
seluruh Blambangan. Secara umum dalam peprangan yang terjadi pada tahun
1767-1772 ( 5 tahun ) itu, VOC memang berusaha untuk merebut seluruh
Blambangan. Namun secara khusus sebenarnya VOC terdorong untuk segera
merebut Banyuwangi, yang pada waktu itu sudah mulai berkembang menjadi
pusat perdagangan di Blambangan, yang telah dikuasai Inggris.
Dengan demikian jelas, bahwa lahirnya sebuah tempat
yag kemudian menjadi terkenal dengan nama Banyuwangi, telah menjadi
kasus-beli terjadinya peperangan dahsyat, perang Puputan Bayu. Kalau
sekiranya Inggris tidak bercokol di Banyuwangi pada tahun 1766, mungkin
VOC tidak akan buru-buru melakukan ekspansinya ke Blambangan pada tahun
1767. Dan karena itu mungkin perang Puputan Bayu tidak akan terjadi (
puncaknya ) pada tanggal 18 Desember 1771. Dengan demikian pasti
terdapat hubungan yang erat perang Puputan Bayu dengan lahirnya sebuah
tempat yang bernama Banyuwangi. Dengan perkataan lain, perang Puputan
Bayu merupakan bagian dari proses lahirnya Banyuwangi. Karena itu,
penetapan tanggal 18 Desember 1771 sebagai hari jadi Banyuwangi
sesungguhnya sangat rasional.
LEGENDA ASAL USUL BANYUWANGI
Konon,
dahulu kala wilayah ujung timur Pulau Jawa yang alamnya begitu indah
ini dipimpin oleh seorang raja yang bernama Prabu Sulahkromo. Dalam
menjalankan pemerintahannya ia dibantu oleh seorang Patih yang gagah
berani, arif, tampan bernama Patih Sidopekso. Istri Patih Sidopekso yang
bernama Sri Tanjung sangatlah elok parasnya, halus budi bahasanya
sehingga membuat sang Raja tergila- gila padanya. Agar tercapai hasrat
sang raja untuk membujuk dan merayu Sri Tanjung maka muncullah akal
liciknya dengan memerintah Patih Sidopekso untuk menjalankan tugas yang
tidak mungkin bisa dicapai oleh manusia biasa. Maka dengan tegas dan
gagah berani, tanpa curiga, sang Patih berangkat untuk menjalankan titah
Sang Raja. Sepeninggal Sang Patih Sidopekso, sikap tak senonoh Prabu
Sulahkromo dengan merayu dan memfitnah Sri Tanjung dengan segala tipu
daya dilakukanya. Namun cinta Sang Raja tidak kesampaian dan Sri Tanjung
tetap teguh pendiriannya, sebagai istri yang selalu berdoa untuk
suaminya. Berang dan panas membara hati Sang Raja ketika cintanya
ditolak oleh Sri Tanjung.
Ketika Patih Sidopekso kembali dari misi tugasnya, ia
langsung menghadap Sang Raja. Akal busuk Sang Raja muncul, memfitnah
Patih Sidopekso dengan menyampaikan bahwa sepeninggal Sang Patih pada
saat menjalankan titah raja meninggalkan istana, Sri Tanjung mendatangi
dan merayu serta bertindak serong dengan Sang Raja.
Tanpa berfikir panjang, Patih Sidopekso langsung menemui Sri Tanjung dengan penuh kemarahan dan tuduhan yang tidak beralasan.
Pengakuan Sri Tanjung yang lugu dan jujur membuat
hati Patih Sidopekso semakin panas menahan amarah dan bahkan Sang Patih
dengan berangnya mengancam akan membunuh istri setianya itu. Diseretlah
Sri Tanjung ke tepi sungai yang keruh dan kumuh. Namun sebelum Patih
Sidopekso membunuh Sri Tanjung, ada permintaan terakhir dari Sri Tanjung
kepada suaminya, sebagai bukti kejujuran, kesucian dan kesetiannya ia
rela dibunuh dan agar jasadnya diceburkan ke dalam sungai keruh itu,
apabila darahnya membuat air sungai berbau busuk maka dirinya telah
berbuat serong, tapi jika air sungai berbau harum maka ia tidak
bersalah.
Patih Sidopekso tidak lagi mampu menahan diri, segera
menikamkan kerisnya ke dada Sri Tanjung. Darah memercik dari tubuh Sri
Tanjung dan mati seketika. Mayat Sri Tanjung segera diceburkan ke sungai
dan sungai yang keruh itu berangsur-angsur menjadi jernih seperti kaca
serta menyebarkan bau harum, bau wangi. Patih Sidopekso
terhuyung-huyung, jatuh dan ia jadi linglung, tanpa ia sadari, ia
menjerit "Banyu..... ... wangi............... . Banyu wangi ... .."
Banyuwangi terlahir dari bukti cinta istri pada suaminya.
Langganan:
Postingan (Atom)