Rabu, 15 Maret 2017

Cerita asal mula Desa Kemiren, cikal bakal Barong Osing

Barong Kemiren atau juga disebut Barong Using (Osing), merupakan kesenian kuno di Banyuwangi, Jawa Timur. Meski tergerus zaman, kesenian asli Suku Osing ini masih lestari.

Lahirnya Barong Kemiren diawali keberadaan Desa Kemiren. Konon, ada seorang begawan yang dikenal dengan sebutan Mbah Buyut Cili datang merantau ke Bumi Blambangan. Dia mencari lokasi yang cocok untuk menetap dan menemukan hutan ditumbuhi banyak pohon kemiri, duren dan aren.

Bersama Mbah Sapuah, ‎Buyut Cili mendirikan perkampungan. Karena makin banyak pengikut, lokasi itu diberi nama Kampung Kemiren, asal kata kemiri, duren dan aren. Desa Kemiren dihuni suku adat asli Banyuwangi; Suku Osing.

Setelah makin banyak pengikut, Buyut Cili hilang-muksa. Beberapa tahun kemudian, Desa Kemiren yang subur dengan hasil buah-buahan melimpah diserang bagebluk atau wabah penyakit yang sulit diobati.

Dalam kondisi panik, Mbah Sapuah, bekali-kali ditemui Buyut Cili melalui mimpi. Dalam mimipinya, Buyut Cili berdialog dengan Mbah Sapua. "Isun wes ngaleh panggonan. Engko onok loro petilasan, dadi panggonanku. Isun ngerti karep sirok. Pagebluk biso ilang. Sirok goleko kayu polek suwedak sentian (60 cm) loro, lebokno jero sumur. Bagebluk biso ilang kudu idher bumi pakek barong," pesan gaib Buyut Cili ke Mbah Sapua.

Dalam Bahas Indonesia, kira-kira begini artinya: ‎Aku sudah pindah tempat. Akan ada dua makam, yang akan jadi tempat baruku. Aku tahu maksud kamu. Penyakit bisa hilang. Kamu cari dua kayu polek sepanjang 60 cm, rendamlah dalam sumur. Bagebluk bisa hilang jika ada ruwat desa dengan barong.

Selanjutnya, Mbah Sapua melaksanakan pesan Buyut Cili, dan meminjam barong di daerah Dandang Miring, Banyuwangi. Hari kedua di Hari Raya Idul Fitri, ritual idher bumi mengusir penyakit digelar.

Acara ruwat desa selain menggelar seni pertunjukan barong, juga dilakukan ritual tumpeng sewu menyajikan makanan khas Tanah Osing; Pecel pitek (ayam). Makanan dari ayam kampung yang sudah dipanggang, dan diberi bumbu parutan kelapa super pedas.

Selanjutnya, ritual idher bumi digelar pada tanggal pertama, hari Senin atau Jumat di Bulan Haji (Idul Adha).

Setelah itu Buyut Cili kembali menemui Mbah Sapua melalui mimipi. Sapua diminta membuat barong dari kayu yang direndamnya dalam sumur. Maka dibuatlah dua barong, satu barong berwujud buruk rupa dan seram. Satu lagi berwujud harimau hijau.

‎Barong Kemiren kemudian diwariskan ke Mbah Tompo generasi kedua barong agar merawat dan melestarikan tradisi kesenian adat Kemiren tersebut.

Saat pendudukan Belanda, Tompo mengungsi kedaerah lain sambil membawa barong. Di tempat barunya, dia bertemu dua ahli pembuat topeng yang kemudian dimintanya membuat barong.

Saat itulah, lahir barong baru yang lebih bagus dari aslinya. Tompo kemudian kembali ke Kemiren membawa barong baru. Karena dianggap untuk sarana pemberontakan, Belanda menyita barong milik Tompo dan membawa ke markasnya.

Kejadian mistis terjadi di markas Belanda. Bumi bergoyang, seperti ada gempa tiap malam. Setelah diselidiki, ternyata gempa itu berasal dari barong. Belanda akhirnya meyerahkan kembali barong ke warga Kemiren dengan syarat hanya digunakan untuk berkesenian.

Sampai saat ini, Barong Kemiren masih dilestarikan oleh Suku Osing di Desa Kemiren. Oleh Tompo, barong diwariskan ke Syamsuri. Berlanjut ke Saleh dan Sapi'i hingga akhirnya dilestarikan oleh Sucipto hingga sekarang.

Kisah cikal-bakal Desa Kemiren dan Barong Osing ini diceritakan oleh generasi keenam Barong Kemiren, Sucipto saat ditemui merdeka.com di kediamannya, Jalan Perkebunaan Kalibendo Nomor 7, Desa Kemiren.

ASAL USUL BANYUWANGI VERSI SUNAN KALIJAGA

beberapa cuplikan dari serat darmo gandul:
”Sang Prabu karsane arêp ngrangkul Sabdapalon lan Nayagenggong, nanging wong loro mau banjur musna. Sang Prabu ngungun sarta nênggak waspa, wusana banjur ngandika marang Sunan Kalijaga: ”Ing besuk nagara Blambangan salina jênêng nagara Banyuwangi, dadiya têngêr Sabdapalon ênggone bali marang tanah Jawa anggawa momongane. Dene samêngko Sabdapalon isih nglimput aneng tanah sabrang.”
  • “Sang Prabu berkeinginan merangkul Sabdo Palon dan Nayagenggong, namun orang dua itu kemudian raib. Sang Prabu heran dan bingung kemudian berkata kepada Sunan Kalijaga : “Gantilah nama Blambangan menjadi Banyuwangi, jadikan ini sebagai tanda kembalinya Sabda Palon di tanah Jawa membawa asuhannya. Sekarang ini Sabdo Palon masih berkelana di tanah seberang.”
Dari kalimat ini jelas menandakan bahwa Sabdo Palon dan Prabu Brawijaya berpisah di tempat yang sekarang bernama Banyuwangi. Tanah seberang yang dimaksud tidak lain tidak bukan adalah Pulau Bali.
. Paduka itu raja mulia tenti tidak akan khilafkepada kata-kata hamba ini.””Apa kamu tidak mau masuk agama Islam?” tanya PrabuSabdopalon berkata dengan sedih, “Ikut agama lama, kepada agama baru tidak!Kenapa Paduka berganti agama tidak bertanya hamba? Apakah Paduka lupa namahamba, Sabdapalon? Sabda artinya kata-kata, Palon kayu pengancing kandang.Naya artinya pandangan, Genggong artinya langgeng tidak berubah. Jadi bicarahamba itu, bisa untuk pedoman orang tanah Jawa, langgeng selamanya.””Bagaimana ini, aku sudah terlanjur masuk agama Islam, sudah disaksikan Sahid, akutidak boleh kembali kepada agama Buda lagi, aku malu apabila ditertawakan bumilangit.””Iya sudah, silahkan Paduka jalani sendiri, hamba tidak ikut-ikutan.”Sunan Kalijaga kemudian berkata kepada Sang Prabu, yang isinya janganmemikirkan yang tidak-tidak, karena agama Islam itu sangat mulia.Ia akan menciptakan air yang di sumber sebagai bukti, lihat bagaimana baunya. Jikaair tadi bisa berbau wangi, itu pertanda bahwa Sang Prabu sudah mantap kepadaagama Rasul, tetapi apabila baunya tidak wangi, itu pertanda jika Sang Prabu masihberpikir Budha.Sunan Kalijaga kemudian mengheningkan cipta. Seketika air sumber menjadi berbauwangi. Sunan Kalijaga berkata kepada Sang Prabu, seperti yang sudah dikatakan,bahwaSang Prabu nyata sudah mantap kepada agama Rasul, karena air sumberbaunya wangi.
” Sang Prabu mendengar kata-kata Sabdapalon dalam batin merasa sangatmenyesal karena telah memeluk agama Islam dan meninggalkan agama Buddha.Lama beliau tidak berkata. Kemudian ia menjelaskan bahwa masuknya agama Islamitukarena terpikat kata putri Cempa, yang mengatakan bahwa orang agama Islam itukelak apabila mati, masuk surga yang melebihi surganya orang kafir.Sabdapalon berkata sambil meludah, “Sejak jaman kuno, bila laki-laki menurutperempuan, pasti sengsara, karena perempuan itu utamanya untuk wadah, tidakberwewenang memulai kehendak.” Sabdapalon banyak-banyak mencaci Sang Prabu.”Kamu cela sudah tanpa guna, karena sudah terlanjur, sekarang hanya kamu kutanya,masihkah tetapkah tekadmu? Aku masuk agama Islam, sudah disaksikan oleh siSahid, sudah tidak bisa kembali kepada Buddha lagi.”Sabdapalon berkata bahwa dirinya akan memisahkan diri dengan beliau. Ketikaditanya perginya akan ke mana? Ia menjawab tidak pergi, tetapi tidak berada di situ,hanya menepati yang namanya Semar, artinya meliputi sekalian wujud, anglelakalingan padang.Sang Prabu bersumpah, besok apabila ada orang Jawa tua, berpengetahuan, yaitulahyang akan diasuh Sabdapalon. Orang Jawa akan diajari tahu benar salah. SangPrabu hendak merangkul Sabdapalon dan Nayagenggong, tetapi kedua orangtersebut musnah. (=tiba-tiba menghilang; red: bandingkan pencapaian kedua orang inidengan kisah para arahat pada jaman Sakyamuni Buddha)Sang Prabu kemudian menyesal dan meneteskan air mata. Kemudian berkata kepadaSunan Kalijaga, “Besok Negara Blambangan gantilah nama dengan NegaraBanyuwangi agar menjadi pertanda kembalinya Sabdapalon ke tanah Jawamembawa asuhannya. Adapun kini Sabdopalon masih dalam alam Ghaib.”
sumber lain:
Berikut cuplikan sejarah prabu brawijaya yang akan menyebrang ke pulau bali akibat majapahit telah dikuasai raden patah……”Sunan Kalijaga meminta bukti ketulusan Sang Prabhu dalam memeluk Islam. Sunan Kalijaga memohon untuk memotong rambut panjang Sang Prabhu. Dengan sebilah keris, setelah diijinkan, Sunan Kalijaga memotong rambut beliau. Tapi ternyata…, tidak satu helai-pun terpotong. Sekali lagi, Sunan Kalijaga meminta keikhlasan Sang Prabhu memeluk Islam, dan sekali lagi Sunan Kalijaga memotong rambut beliau. Kali ini, terpotong sudah. Namun, Sunan Kalijaga belum puas, menjelang berangkat kembali ke Trowulan, Sunan Kalijaga mengambil air comberan yang berbau tidak sedap dimasukkan kedalam sebilah bambu. Dihadapan Sang Prabhu, beliau menyatakan, bahwasanya apabila air comberan ini sesampainya di Trowulan airnya berubah tidak berbau busuk, nyata sudahlah Sang Prabhu telah lahr bathin masuk Islam.Berangkatlah rombongan itu ke Trowulan,sesampainya di Trowulan, disambut dengan suka cita oleh masyarakat Trowulan. Air dalam bilah bambu dicurahkan oleh Sunan Kalijaga, dan ternyata, bau busuknya hilang, bahkan airnya berubah jernih. Untuk mengingat kejadian itu, Blambangan diubah namanya menjadi BANYUWANGI hingga sekarang.

Sejarah Asal Usul Suku Osing Banyuwangi

Predikat Using dilekatkan kepada masyarakat Blambangan karena kecenderungan mereka menarik diri dari pergaulan dengan masyarakat pendatang pasca perang Puputan Bayu. Pendudukan VOC di Blambangan tentu saja memerlukan banyak tenaga kerja untuk menjalankan usaha-usaha eksploitasi di Blambangan. Oleh karena itu, kemudian VOC mendatangkan banyak pekerja dari Jawa Tengah dan Madura dalam jumlah besar,sementara sisa-sisa masyarakat Blambangan /wong osing yang mayoritas telah memilih untuk mengucilkan diri di pegunungan.
Sesekali interaksi terjadi, antara masyarakat asli dan pendatang. Dalam interaksi tersebut, masyarakat asli acapkali menggunakan istilah “sing” atau “hing” yang berarti “tidak”. Dari sanalah penamaan Wong Using berasal. Sementara masyarakat asli menyebut kaum pendatang dengan istilah “Wong Kiye”. Selain perkataan “tidak” yang mencirikan penolakan interaksi dengan pendatang, masyarakat Using juga menggunakan peristilahan yang “kasar” seperti asu, celeng, luwak, bajul atau bojok. Menurut Hasnan Singodimayan, peristilahan itu selain sebagai bahasa sandi juga mempertegas penolakan masyarakat Using terhadap berbagai bentuk “penjajahan” yang dialami dalam perjalanan sejarah mereka
Penduduk sisa-sisa rakyat Blambangan yang mendiami wilayah Kabupaten Banyuwangi, sebagian Jember, Bondowoso, Situbondo dan Lumajang disebut masyarakat Using. Dulu sebelum dibakukan, banyak menulis dengan kata “Osing” kadang juga “Oseng”, namun setelah diurai secara fonetis oleh pakar Linguisitik dari Universitas Udayana Bali (Prof Heru Santoso), diperoleh kesepakatan resmi dengan menulis kata “Using” yang berarti “Tidak”. Pertanyaannya, kenapa orang asli Blambangan disebut Using? Penyebutan itu, sebetulnya bukan permintaan orang-orang Blambangan. Ini lebih merupakan ungkapan prustasi dari penjajah Belanda saat itu, karena selalu gagal membunjuk orang-orang sisa Kerajaan Blambangan untuk bekerja sama. Kendati pimpinan mereka sudah dikalahkan, tetapi tidak secara otomatis menyerah kepada musuh. Sikap yang sama, juga ditujukkan saat awal-awal Orde Baru berkuasa, orang Banyuwangi paling susah diajak kerja sama, atau menjadi pegawai Negeri. Mereka masih menganggap, pemerintahan yang ada tidak jauh berbeda dengan penjajah Belanda.
Meski akhirnya sikap “Sing” ini berangsur-angsur melunak, dengan banyaknya orang Using yang menjadi pegawai negeri, atau masuk ranah-ranah publik yang sebelumnya tidak pernah dilakukan, namun nama “Using” sudah terlanjur melekat. Bahkan tumbuh kebanggan kolektif, bila disebut sebagai orang Using. Setelah generasi-generasi muda itu, tahu sejarah bagaimana nenek moyangnya berjuang mati-matian, mempertahankan wilayah dan harga diri.
Perang “Puputan” atau juga dikenal perang habis-habisan, akhirnya dijadikan tonggak hari lahirnya Kabupaten Banyuwangi. Pertimbangannya, semangat heroik dari tentara Blambangan ini diharapkan bisa menjadi tauladan. Bahkan seorang penulis asal Belanda menyebutkan, jika rakyat Blambangan hanya tinggal berapa ribu saja. Sebagai bentuk penekanan terhadap warkat Blambangan, kepala laskar Blambangan yang kalah perang, ditancapkan di sepanjang jalan. Meski demikian, sisa rakyat Blambangan tidak langsung menyerah dan tunduk kepada musuh. Mereka memilih mengungsi ke gunung atau membentuk kelompok-kelompok kecil. Mereka berkomunikasi menggunakan bahasa-bahasa sandi, berupa nama-nama bintang. Kelang bahasa sandi ini menjadi umpatan khas wong Using. Selain itu, bahasa Using dikenal mempunyai ratusan dialek. Setiap kampung-kampung Using, bisa diidentifikasi dari cara mereka berbicara dan berpakaian. Misalnya dalam satu pertemuan besar di sebuah lapangan, maka mereka akan mudah mengenali orang Using dari daerah mana, dari cara mereka berbicara.
Selain itu, ternyata kampung-kampung Using tidak ada yang menghadap jalan raya. Umumnya kampung Using itu merupakan jalan kecil dari sebuah jalan raya beraspal, kemudian di kawasan itu berjubel pemukiman. Meski berada di pedesaan, namun kampung-kampung Using terkenal padat. Ini ternyata tidak lepas dari sejarah masa lalu wong Using yang selalu dilanda ketakutan, pasca kekalahan laskar Blambangan pada Perang Puputan Bayu. Mereka selalu berkelompok dan selalu mewaspadai kedatangan orang asing.
Akibat tidak mau bekerja sama dengan Belanda, praktis Wong Using mengkonsentrasikan hidupnya di sektor pertanian. Sementara sentra-sentra perekonomian lain di Banyuwangi, justru banyak ditempati orang di luar Banyuwangi. Sektor perkebunan yang rata-rata saat itu milik Belanda dan Inggris, banyak dikerjakan orang Madura. Saat itu, wong Using sangat menolak keras kerja sama dengan Belanda dan pemilik kebun. Sektor laut, justru banyak dilakukan orang-orang dari Madura, seperti di Muncar. Sektor pemerintahan bisa ditebak, tidak ada orang-orang Using yang mau bekerja di sektor ini. Meski diantara mereka ada yang sekolah hingga perguruan tinggi, namun tidak begitu saja orang-orang Using mengijinkan anaknya menjadi pegawai negeri. Mereka masih beranggapan, pemerintahan itu adalah penjajah, karena melanjutkan pemerintahan yang dibentuk Belanda. Sikap menolak bekerjasama dengan musuh ini, bisa dilihat dari keberadaan Pabrik Gula. Meski Banyuwangi merupakan wilayah pertanian yang subur, namun Belanda saat itu tidak berhasil memaksa warga Banyuwangi untuk menanam tebu sebagai pemasok pabrik gula. Padahal di Jember dan Situbondo, bertengger sejumlah pabrik gula. Nyaris kehidupan feodal hanya tumbuh di perkebunan, seperti di wilayah Glenmore dan Kalibaru.
Dari aspek seni-budaya, orang luar banyak menyatakan. jika budaya dan kesenian Banyuwangi merupakan perpaduan Jawa-Madura dan Bali. Pernyataan ini memang tidak terbantahkan, karena letak geografis Banyuwangi yang berdekatan dengan Bali. Namun ada yang menarik dari catatan Sejarawan asal Belanda TG. Pigeaud dalam bukunya Runtuhkan Kerajaan Mataram Islam. Dalam buku itu disebutkan. jika wilayah Kerajaan Blambangan saat itu, menjadi rebutan antara Kerajaan Mataram di bawah Sultan Agung dengan kerajaan Mengwi di Bali. Dr. Theodoor Gautier Thomas Pigeaud menyatakan, suatusaat pengaruh Bali sangat kuat dalam segala aspek kehidupan rakyat Blambangan, maka saat itu pula pengaruh Mataram melemah. Namun apabila Mataram sudah bisa mengusai kembali sendi-sendi kehidupan di Blambangan, saat itu juga pengarusnya secara sosial kemasyarakat juga akan kuat. Dalam proses inilah, lahir kesenian semacam Janger yang mirip dengan langedrian yang ada di Yogyakarta, dengan cerita diambil dari Serat Damarwulan yang ditulis Pujangga di Kerajaan Mataram. Atau Kesenian Praburoro yang mengabil cerita Hikayat Amir Hamzah (Kata orang Using: Amir Ambyah), kesenian ini juga bisa ditemukan di Sleman DIY. Janger bentuk sampaan seperti Ketoprak, sedang Praburoro seperti Wayang Orang. Namun mocopat yang berkembang di Banyuwangi, bukan berasal dari kalangan Keraton, melainkan mocopat pesisiran. Nama-nama pupuhnya hampir sama, hanya ada penekanan pada pupuh-pupuh tertentu.
Setelah itu, orang-orang Mataraman atau bisa disebut Jowo Kulon mulai masuk Banyuwangi, trerutama daerah selatan. Mereka juga membawa kesenian, seperti wayang, Reog Ponorogo dan kesenian Jawa lainnya. Namun dalam perkembangannya, terjadi asimilasi. Misalnya, secara teknis seniman Banyuwangi itu mempunyai ciri khas dalam memukul alat musik, yaitu tekhnik timpalan. Ini terjadi baik cara memukul gamelan, maupun rebana (terbang).
Namun dalam kehidupan sosial, kadang orang-orang pendatang ini merasa lebih tinggi dibanding orang asli Banyuwangi. Mereka memang mengusai sektor-sektor formal. Misalnya pegawai Negeri di Kabupaten hingga Kecamatan, banyak dijabat orang pendatang. Mereka yang masih selaran dengan perjuangan Mataram ini, kadang memandang orang asli Banyuwangi sebelah mata. Padangan orang terbelakang dan tidak mau diajak maju, kadang sulit dihilangkan. Apalagi pada saat jaman pergolakan poilitik, kesenian dan senimam Banyuwangi yang yang tergabung dan digunakan propaganda oleh PKI. Lengkap sudah penderitaan sisa-sisa Laskar Blambangan ini.
Sebagai pemilik syah atas warisan leluhurnya,ternyata orang-orang Using sangat sulit memperjuangkan Bahasa Using sebagai materi ajar di sejumlah sekolah dasar. Ini tidak heran, karena para pejabat di Pemkab Banyuwangi dan Dinas Pendidikan saat itu, memang dijabat orang Jowo Kulonan. Mereka masih beragapan sebagai penjajah, karena menganggap Bahasa using sebagai sub-dealek dari Bahasa Jawa. Padahal berdasarkan penelitian Profersor Heru Santoso, Using bukan sebagai dialek-Jawa,tetapi sudah merupakan bahasa sendiri. Tentu kaidah-kaidah menetukan suatu bahasa disebut bahasa sendiri, bukan sebagai dialek, sudah dikupas panjang lebar oleh Pakar Linguistik dari Udayana Bali ini.
Bahkan peneliti dari Balai Bahasa Yogyakarta, Wedawaty menyebutkan, jika bahasa Using dan Bahasa Jawa itu kedudukannya sama sebagai turunan dari Bahasa Jawa Kuno ayau Bahasa Kawi. Bahasa Jawa sekarang lebih berkembang, terutama adanya strata atau tingkatan bahasa sesuai kasta dan umur. Namun bahasa Using terlihat lebih statis, karena tidak mengenal tingkatan tutur, seperti Bahasa kawi induknya. Bahkan Budayawan using, Hasan Ali menduga, kota kata Bahasa Bali dalam Balines-Nederland yang disusun seorang misionaris Belanda adalah kota kata Bahasa using, karena penyusunlan puluhan tahun tinggal di Blambangan, sebelum bisa menyebrang ke Bali.
Alahmdullah, setelah puluhan tahun perjuangan, akhirnya Bahasa Using diajarkan di tingkat SD dan SMP. Ini tidak lepas dari uapaya keras dari Budayan yang tergabung dalam Dewan Kesenian Blambangan (DKB) dan Budayawan Hasan Ali yang menyusun Kamu Using. Berngasur-angsur wong Using juga mulai menunjukkan eksistensi dalam berbagai aspek kehidupan. Bahkan sempat menempatkan Syamsul Hadi yang orang Using sebagai Bupati, meski akhirnya terjerat sejumlah kasus korupsi. Sebelumnya, Bupati Banyuwangi selalu dijabat orang dari luar dan tentara tentunya. Saat Orde Lama pernah dijabat M Yusuf, itupun sementara setelah Bupati aslinya terlibat PKI. Saat Orde Baru, ternyata meneruskan Mataram. Bisa percaya bisa tidak, dua pejabat Bupati banyuwangi berasal dari Mojokerto (dulu Majapahit), yaitu Djoko Supaat dan T. Pornomo Sidik. Saat Mataram menguasai Blambangan, juga menggunakan backgorund Majahit dalam cerita Damarwulan untuk mendiskreditkan Raja Blambangan….

Sumber: osingketarajasa

Pembantaian Banyuwangi 1998

Pembantaian Banyuwangi 1998




Foto salah satu korban pembantaian
Pembantaian Banyuwangi 1998 adalah peristiwa pembantaian terhadap orang yang diduga melakukan praktik ilmu hitam (santet atau tenung) yang terjadi di Banyuwangi, Jawa Timur pada kurun waktu Februari hingga September 1998. Namun hingga saat ini motif pasti dari peristiwa ini masih belum jelas.

Kejadian Awal

Pembunuhan pertama terjadi pada Februari 1998 dan memuncak hingga Agustus dan September 1998. Pada kejadian pertama di bulan Februari tersebut, banyak yang menganggapnya sebagai sesuatu yang biasa, dalam artian kejadian tersebut tidak akan menimbulkan sebuah peristiwa yang merentet panjang. Pembunuh dalam peristiwa ini adalah warga-warga sipil dan oknum asing yang disebut ninja. Dalam kejadian ini, setelah dilakukan pendataan korban. Ternyata banyak di antara para korban bukan merupakan dukun santet. Di antarapara korban terdapat guru mengaji, dukun suwuk (penyembuh) dan tokoh-tokoh masyarakat seperti ketua RT atau RW.
"Sasarannya malah komunitas Using dan komunitas santri. Dan ternyata yang terkena cuma guru ngaji, seorang tua yang tukang suwuk, kalau ada tokoh, ya tokoh lokal. Sehingga konseptor merasa gagal" –Hasnan Singodimayan, budayawan. wawancara TvOne.

Radiogram Bupati Pur

Pada 6 Februari 1998, Bupati Banyuwangi saat itu Kolonel Polisi (Purn) HT. Purnomo Sidik mengeluarkan radiogram yang ditujukan untuk seluruh jajaran aparat pemerintahan dari camat hingga kepala desa untuk mendata orang-orang yang ditengarai memiliki ilmu supranatural dan untuk selanjutnya melakukan pengamanan dan perlindungan terhadap orang-orang tersebut. Radiogram selanjutnya dikeluarkan pada bulan September yang berisi penegasan terhadap radiogram sebelumnya. Namun yang terjadi, setelah radiogram dikeluarkan dan dilakukan pendataan, pembantaian malah semakin meluas. Dalam sehari ada 2-9 orang yang terbunuh. Sehingga masyarakat berasumsi bahwa radiogram bupati tersebut adalah penyebab dari pembantaian dan radiogram yang berisi perintah pengamanan tersebut adalah dalih pemerintah untuk membasmi tokoh-tokoh yang berlawanan ideologi dengan pemerintah. Selain itu muncul spekulasi bahwa pembantaian tersebut didalangi oleh oknum TNI, namun hal itu tidak terbukti hingga saat ini.
"Cepak! Cepak! Tentara itu yang nyuruh! Nah, kan. Tentara lagi yang dituduh. Jadi analisa kami bahwa itu untuk menumbuhkan rasa ketidakpercayaan terhadap aparat" Djoko Soebroto, mantan Pangdam V Brawijaya. Wawancara TvOne.
Kemudian, terlepas dari spekulasi yang muncul akibat radiogram yang dikeluarkan bupati. Para ulama di Kabupaten Banyuwangi menganggap bahwa meskipun radiogram yang dikeluarkan dimaksudkan untuk maksud sebenarnya (benar-benar bertujuan untuk mengamankan orang-orang dengan ilmu supranatural), penerapannya kurang tersembunyi sehingga informasi mengenai orang-orang tersebut bocor ke pihak massa pembantai sehingga orang tadi kehilangan nyawanya sesaat setelah melapor ke aparat desa.
"Seperti di daerah Bubuk itu. Mereka didata, malamnya ada yang nyerbu" –Utomo Dauwis, anggota TPF NU. Wawancara TvOne.
"Kita tidak menafsirkan berbeda (radiogram), jadi pelaksanaannya seperti itu dan kita lakukan pengamanan terhadap mereka" Asmai Hadi, mantan camat Banyuwangi. Wawancara TvOne.
Berdasarkan hal tersebut para ulama tersebut menilai bahwa kepemimpinan Bupati Pur gagal dan membentuk Gerakan 101 untuk menuntut Bupati Pur mundur dari jabatannya.

Ninja

Pada masa pembantaian muncul sosok yang disebut ninja. Ninja tersebut memakai pakaian serba hitam dan kedapatan memakai handy-talky dalam beroperasi. Ada dua versi mengenai ninja ini. Ada yang menyebutkan bahwa ninja tersebut adalah orang yang hanya berkostum hitam dan membawa senjata, sedangkan yang lain menceritakan bahwa sosok ninja yang mereka lihat adalah seperti ninja di Jepang dan mampu bergerak ringan melompat dari sisi ke sisi yang tidak akan bisa dilakukan oleh manusia biasa. Mereka sangat terlatih dan sistematis. Saat itu, yang terjadi adalah listrik tiba-tiba mati dan sesaat kemudian terdapat seseorang yang sudah meninggal karena dibunuh. Keadaan mayat pada saat itu ada yang sudah terpotong-potong, patah tulang ataupun kepala yang pecah.
"Karena santri itu panik, ada yang bilang berpakaian hitam, ada yang bilang berpakaian biru. Sambil jerit-jerit, kata mereka itu yang tiga (orang) di dalam yang tiga di luar" –H. Ali Sudarji, target pembunuhan yang berhasil lolos. Wawancara TvOne-

Munculnya gelandangan dan orang gila

Pada masa pembantaian ini muncul sekelompok gelandangan dan orang gila di penjuru kabupaten. Baik di desa maupun di kota. Para orang gila ini menunjukkan hal yang janggal seperti mampu menjawab dengan baik pertanyaan penanya, namun ketika ditanya mengenai asal usulnya, mereka akan bertingkah seperti orang gila. Hal ini menimbulkan spekulasi bahwa orang-orang gila ini terlibat dalam peristiwa pembantaian. Dugaan tersebut semakin diperkuat dengan menghilangnya orang-orang gila tersebut tanpa upaya apapun dari pihak berwenang saat pembantaian mulai mereda.

Korban

Berkut ini data korban dari versi, yakni versi Pemkab dan Tim Pencari Fakta Nahdlatul Ulama
Kecamatan Versi Pemkab
(orang)
Versi TPF NU
(orang)
Kecamatan Versi Pemkab
(orang)
Versi TPF NU
(orang)
Kota 2 2 Cluring 10 11
Giri 12 12 Tegaldlimo 2 2
Glagah 10 8 Purwoharjo 4 3
Kalipuro 4 2 Gambiran 3 7
Kabat 19 16 Genteng 2 5
Rogojampi 16 19 Sempu 5 16
Wongsorejo 3 3 Bangorejo 0 3
Singojuruh 9 9 Glenmore 0 3
Songgon 10 20 Kalibaru 2 2
Srono 2 3 Muncar 0 1



Jumlah 115 147

BUPATI BANYUWANGI

DAFTAR BUPATI BANYUWANGI

R.Oesman Soemodinoto R. Soegito Noto Soegito Djoko Supaat Slamet
Periode : 1942 - 1947 Periode : 1955 - 1965 Periode : 1966 - 1978
Susilo Suhartono, SH S. Djoko Wasito Harwin Wasisto
Periode : 1978 - 1983 Periode : 1983 - 1988 Periode : 1988 - 1991
H. Turyono Purnomo Sidik Ir. H. Samsul Hadi Ratna Ani Lestari, SE. MM.
Periode : 1991 - 2000 Periode : 2000 - 2005 Periode : 2005 - 2010
   
 Abdullah Azwar Anas, M.Si.    
 Periode : 2015 - 2021    

Asal Usul Kota BANYUWANGI

Merujuk data sejarah yang ada, sepanjang sejarah Blambangan kiranya tanggal 18 Desember 1771 merupakan peristiwa sejarah yang paling tua yang patut diangkat sebagai hari jadi Banyuwangi. Sebelum peristiwa puncak perang Puputan Bayu tersebut sebenarnya ada peristiwa lain yang mendahuluinya, yang juga heroik-patriotik, yaitu peristiwa penyerangan para pejuang Blambangan di bawah pimpinan Pangeran Puger ( putra Wong Agung Wilis ) ke benteng VOC di Banyualit pada tahun 1768.
Namun sayang peristiwa tersebut tidak tercatat secara lengkap pertanggalannya, dan selain itu terkesan bahwa dalam penyerangan tersebut kita kalah total, sedang pihak musuh hampir tidak menderita kerugian apapun. Pada peristiwa ini Pangeran Puger gugur, sedang Wong Agung Wilis, setelah Lateng dihancurkan, terluka, tertangkap dan kemudian dibuang ke Pulau Banda ( Lekkerkerker, 1923 ).
Berdasarkan data sejarah nama Banyuwangi tidak dapat terlepas dengan keajayaan Blambangan. Sejak jaman Pangeran Tawang Alun (1655-1691) dan Pangeran Danuningrat (1736-1763), bahkan juga sampai ketika Blambangan berada di bawah perlindungan Bali (1763-1767), VOC belum pernah tertarik untuk memasuki dan mengelola Blambangan ( Ibid.1923 :1045 ).
Pada tahun 1743 Jawa Bagian Timur ( termasuk Blambangan ) diserahkan oleh Pakubuwono II kepada VOC, VOC merasa Blambangan memang sudah menjadi miliknya. Namun untuk sementara masih dibiarkan sebagai barang simpanan, yang baru akan dikelola sewaktu-waktu, kalau sudah diperlukan. Bahkan ketika Danuningrat memina bantuan VOC untuk melepaskan diri dari Bali, VOC masih belum tertarik untuk melihat ke Blambangan (Ibid 1923:1046).
Namun barulah setelah Inggris menjalin hubungan dagang dengan Blambangan dan mendirikan kantor dagangnya (komplek Inggrisan sekarang) pada tahun 1766 di bandar kecil Banyuwangi ( yang pada waktu itu juga disebut Tirtaganda, Tirtaarum atau Toyaarum), maka VOC langsung bergerak untuk segera merebut Banyuwangi dan mengamankan seluruh Blambangan. Secara umum dalam peprangan yang terjadi pada tahun 1767-1772 ( 5 tahun ) itu, VOC memang berusaha untuk merebut seluruh Blambangan. Namun secara khusus sebenarnya VOC terdorong untuk segera merebut Banyuwangi, yang pada waktu itu sudah mulai berkembang menjadi pusat perdagangan di Blambangan, yang telah dikuasai Inggris.
Dengan demikian jelas, bahwa lahirnya sebuah tempat yag kemudian menjadi terkenal dengan nama Banyuwangi, telah menjadi kasus-beli terjadinya peperangan dahsyat, perang Puputan Bayu. Kalau sekiranya Inggris tidak bercokol di Banyuwangi pada tahun 1766, mungkin VOC tidak akan buru-buru melakukan ekspansinya ke Blambangan pada tahun 1767. Dan karena itu mungkin perang Puputan Bayu tidak akan terjadi ( puncaknya ) pada tanggal 18 Desember 1771. Dengan demikian pasti terdapat hubungan yang erat perang Puputan Bayu dengan lahirnya sebuah tempat yang bernama Banyuwangi. Dengan perkataan lain, perang Puputan Bayu merupakan bagian dari proses lahirnya Banyuwangi. Karena itu, penetapan tanggal 18 Desember 1771 sebagai hari jadi Banyuwangi sesungguhnya sangat rasional.

Konon, dahulu kala wilayah ujung timur Pulau Jawa yang alamnya begitu indah ini dipimpin oleh seorang raja yang bernama Prabu Sulahkromo. Dalam menjalankan pemerintahannya ia dibantu oleh seorang Patih yang gagah berani, arif, tampan bernama Patih Sidopekso. Istri Patih Sidopekso yang bernama Sri Tanjung sangatlah elok parasnya, halus budi bahasanya sehingga membuat sang Raja tergila- gila padanya. Agar tercapai hasrat sang raja untuk membujuk dan merayu Sri Tanjung maka muncullah akal liciknya dengan memerintah Patih Sidopekso untuk menjalankan tugas yang tidak mungkin bisa dicapai oleh manusia biasa. Maka dengan tegas dan gagah berani, tanpa curiga, sang Patih berangkat untuk menjalankan titah Sang Raja. Sepeninggal Sang Patih Sidopekso, sikap tak senonoh Prabu Sulahkromo dengan merayu dan memfitnah Sri Tanjung dengan segala tipu daya dilakukanya. Namun cinta Sang Raja tidak kesampaian dan Sri Tanjung tetap teguh pendiriannya, sebagai istri yang selalu berdoa untuk suaminya. Berang dan panas membara hati Sang Raja ketika cintanya ditolak oleh Sri Tanjung.
Ketika Patih Sidopekso kembali dari misi tugasnya, ia langsung menghadap Sang Raja. Akal busuk Sang Raja muncul, memfitnah Patih Sidopekso dengan menyampaikan bahwa sepeninggal Sang Patih pada saat menjalankan titah raja meninggalkan istana, Sri Tanjung mendatangi dan merayu serta bertindak serong dengan Sang Raja.
Tanpa berfikir panjang, Patih Sidopekso langsung menemui Sri Tanjung dengan penuh kemarahan dan tuduhan yang tidak beralasan.
Pengakuan Sri Tanjung yang lugu dan jujur membuat hati Patih Sidopekso semakin panas menahan amarah dan bahkan Sang Patih dengan berangnya mengancam akan membunuh istri setianya itu. Diseretlah Sri Tanjung ke tepi sungai yang keruh dan kumuh. Namun sebelum Patih Sidopekso membunuh Sri Tanjung, ada permintaan terakhir dari Sri Tanjung kepada suaminya, sebagai bukti kejujuran, kesucian dan kesetiannya ia rela dibunuh dan agar jasadnya diceburkan ke dalam sungai keruh itu, apabila darahnya membuat air sungai berbau busuk maka dirinya telah berbuat serong, tapi jika air sungai berbau harum maka ia tidak bersalah.
Patih Sidopekso tidak lagi mampu menahan diri, segera menikamkan kerisnya ke dada Sri Tanjung. Darah memercik dari tubuh Sri Tanjung dan mati seketika. Mayat Sri Tanjung segera diceburkan ke sungai dan sungai yang keruh itu berangsur-angsur menjadi jernih seperti kaca serta menyebarkan bau harum, bau wangi. Patih Sidopekso terhuyung-huyung, jatuh dan ia jadi linglung, tanpa ia sadari, ia    menjerit "Banyu..... ... wangi............... . Banyu    wangi ... .." Banyuwangi terlahir dari bukti cinta istri    pada suaminya.